Hukum
Bekicot
Bismillah was shalatu was salamu
‘ala rasulillah, amma ba’du,
Salah satu binatang yang menjadi
polimik terkait status kehalalannya adalah bekicot. Terlebih bagi mereka yang
tinggal di iklim tropis, hewan ini sangat mudah dan banyak dijumpai. Namun
apapun itu, sejatinya permasalahan halal dan haramnya bekicot termasuk masalah
ijtihadiyah, sehingga tidak selayaknya di bawah ke ranah aqidah atau bahkan
menjadi sumber perpecahan.
Berkaitan dengan hukum bekicot, ada beberapa catatan yang bisa kita perhatikan,
Berkaitan dengan hukum bekicot, ada beberapa catatan yang bisa kita perhatikan,
Pertama, bekicot ada dua: bekicot
darat dan bekicot air
Kita tidak sedang membahas ciri
fisiologi masing-masing, karena kita anggap, orang yang mengenal hewan ini,
bisa memahami perbedaan bekicot darat
dan bekicot air.
Kemudian, untuk bekicot air, baik
perairan tawar atau laut, hukumnya halal, meskipun langsung dimasak tanpa
disembelih.
Sebagaimana yang Allah tegaskan
dalam Al-Quran,
أُحِلَّ لَكُمْ
صَيْدُ
الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ
وَلِلسَّيَّارَةِ
“Dihalalkan bagimu binatang buruan
laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu,
dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan…
(QS. Al-Maidah: 96)
Ibn Abbas dalam riwayat yang sangat
masyhur, mengatakan,
{صيده} ما
أخذ
منه
حيًا
{وَطَعَامُهُ} ما
لفظه
ميتًا
“Binatang buruan laut adalah hewan
laut yang diambil hidup-hidup, dan makanan dari laut adalah bangkai hewan
laut.” (Tafsir Ibn Katsir, 3/197).
Al-Bukhari membawakan satu riwayat
dari Syuraih, salah seorang sahabat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
beliau mengatakan,
كُلُّ
شَيءٍ
فِي
الْبَحْرِ مَذْبُوحٌ
“Semua yang ada di laut, statusnya
sudah disembelih” (HR. Bukhari secara muallaq).
Kedua, hukum bekicot darat
Bagian inilah yang diperselisihkan
ulama.
Pendapat pertama, bekicot darat
termasuk hasyarat. Dan hasyarat hukumnya haram. Ini adalah pendapat mayoritas
ulama, diantaranya: Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, Daud Ad-Dhahiri, dan
Syafiiyah. An-nawawi mengatakan,
مذاهب
العلماء في
حشرات
الأرض
…. مذهبنا
أنها
حرام
،
وبه
قال
أبو
حنيفة
وأحمد
وداود
. وقال
مالك
: حلال
“Madzhab-madzhab para ulama tentang
hewan melata bumi…, madzhab kami (syafiiyah) hukumnya haram. Ini merupakan
pendapat Abu Hanifah, Ahmad, dan Daud. Sementara Malik mengatakan, boleh.”
(Al-Majmu’, 9/16)
Ibnu Hazm mengatakan,
ولا
يحل
أكل
الحلزون البري
, ولا
شيء
من
الحشرات كلها
: كالوزغ
،
والخنافس , والنمل
, والنحل
, والذباب , والدبر
, والدود
كله
– طيارة
وغير
طيارة
– والقمل
, والبراغيث , والبق
, والبعوض وكل
ما
كان
من
أنواعها ؛
لقول
الله
تعالى
: (حرمت
عليكم
الميتة)
؛
وقوله
تعالى
(إلا
ما
ذكيتم)
“Tidak halal makan bekicot darat,
tidak pula binatang melata semuanya, seperti: cicak, kumbang, semut, lebah,
lalat, cacing dan yang lainnya, baik yang bisa terbang maupun yang tidak bisa
terbang, kutu kain atau rambut, nyamuk, dan semua binatang yang semisal.
Berdasarkan firman Allah, yang artinya: “Diharamkan bagi kalian bangkai,
darah…..” kemudian Allah tegaskan yang halal, dengan menyatakan, “Kecuali
binatang yang kalian sembelih.”
Kemudian Ibn Hazm menegaskan,
وقد
صح
البرهان على
أن
الذكاة
في
المقدور عليه
لا
تكون
إلا
في
الحلق
،
أو
الصدر
, فما
لم
يقدر
فيه
على
ذكاة
: فلا
سبيل
إلى
أكله
: فهو
حرام
؛
لامتناع أكله
،
إلا
ميتة
غير
مذكى
“Sementara dalil yang shahih telah
mengaskan bahwa cara penyembelihan yang hanya bisa dilakukan pada leher atau
dada. Untuk itu, hewan yang tidak mungkin disembelih, tidak ada jalan kaluar
untuk bisa memakannya, sehingga hukumnya haram. Karena tidak memungkinkan
dimakan, kecuali dalam keadaan bangkai, yang tidak disembelih. (Al-Muhalla, 6/76).
Pendapat kedua, merupakan
kebalikannya, bekicot hukumnya halal. Ini adalah pendapat Malikiyah. Mereka
punya prinsip bahwa hewan yang tidak memiliki sistem transportasi darah merah,
tidak harus disembelih. Mereka mengqiyaskannya sebagaimana belalang.
Cara menyembelihnya bebas, bisa
dengan langsung direbus, dipanggang, atau ditusuk dengan kawat besi, sampai
mati, sambil membaca basmalah.
Dalam Al-Mudawanah dinyatakan,
“سئل مالك
عن
شيء
يكون
في
المغرب
يقال
له
الحلزون يكون
في
الصحارى يتعلق
بالشجر
أيؤكل
؟
قال
: أراه
مثل
الجراد
،
ما
أخذ
منه
حيّاً
فسلق
أو
شوي
: فلا
أرى
بأكله
بأساً
, وما
وجد
منه
ميتاً
: فلا
يؤكل
Imam Malik ditanya tentang binatang
yang ada di daerah maroko, namanya bekicot. Biasanya berjalan di bebatuan, naik
pohon. Bolehkah dia dimakan?
Imam Malik menjawab:
“Saya berpendapat, itu seperti
belalang. Jika ditangkap hidup-hidup, lalu direbus atau dipangggang. Saya
berpendapat, Tidak masalah dimakan, namun jika ditemukn dalam keadaan mati,
jangan dimakan.” (Al-Mudawwanah, 1/542)
Al-Baji juga pernah menukil
keterangan Imam Malik tentang bekicot,
ذكاته
بالسلق
،
أو
يغرز
بالشوك
والإبر
حتى
يموت
من
ذلك
،
ويسمَّى الله
تعالى
عند
ذلك
،
كما
يسمى
عند
قطف
رءوس
الجراد
“Cara menyembelihnya adalah dengan
dimasak, atau ditusuk kayu atau jarum sampai mati. Dengan dibacakan nama Allah
(bismillah) ketika itu. Sebagaimana membaca bismillah ketika memutuskan kepala
belalang.” (Al-Muntaqa Syarh Muwatha’, 3/110)
Jika perhatikan keterangan di atas,
keterangan yang melarang makan bekicot, lebih mendekati kebenaran. Karena
bekicot darat termasuk hewan melata yang tidak bisa disembelih. Dan semua
binatang yang tidak mungkin bisa disembelih, maka tidak ada cara untuk bisa
memakannya, karena statusnya bangkai.
Sisi yang lain, terdapat kaidah yang
diakui bersama bahwa tidak mengkonsumsi binatang yang halal dimakan setelah
disembelih, termasuk tindakan menyianyiakan harta, yang itu dilarang secara
syariat. Sementara binatang seperti membuang bekicot, tidak termasuk bentuk
menyia-nyiakan harta.
Sementara mengqiyaskan bekicot dengan belalang,
seperti yang dipahami malikiyah, adalah qiyas yang tidak benar. Karena belalang
dikecualikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hukum bangkai
yang haram. Sementara bekicot tetap harus disembelih (menurut Malikiyah), hanya
saja dengan cara yang tidak pada umumnya diterapkan.
Demikian keterangan tarjih yang
dipilih oleh Syaikh Ali Farkus
Allahu a’lam
Feri
silahkan kasih saran untuk sempurnanya blog ini
BalasHapus